Sastra Terjemahan Gerbang Sastra Dunia
Sastra
terjemahan merupakan pintu masuk bagi sastra dunia. Keberadaan sastra terjemahan
menjadi sangat penting bagi pembaca yang hanya menguasai bahasa negaranya. Menurut
Jassin (1985: 153), ada dua jalan yang terbuka untuk memperkenalkan kesusastraan dunia pada
masyarakat Indonesia. Yang pertama ialah dengan jalan menyadur
dan kedua dengan menerjemahkan. Saduran
menghilangkan sama sekali suasana asli dari masyarakat bersangkutan, sebaliknya
bagi masyarakat Indonesia mungkin lebih dapat diresapkan karena disesuaikan
dengan iklim alam pikiran masyarakat sendiri. Sebaliknya terjemahan sering
kali dirasakan terlalu asing oleh sebagian rakyat karena
lingkungan dan pendidikannya belum terbiasa dengan alam pikiran yang lain dari
alamnya sendiri. Kesukaran menerjemahkan terletak pula kecuali dalam isi yang
mengandung suasana rasa hidup yang asing, juga dalam bahasa yang berlainan
struktur dan kandungan isinya. Terutama pada permulaan bangun kesusastraan
Indonesia pada awal abad XX banyak pengarang mengambil jalan pertama, tapi
tidak kurang pula merasakan terlalu banyak yang hilang dengan jalan demikian
dan karena itu lebih menyukai jalan terjemahan.
Penerjemahan
dilakukan dengan giat di masa revolusi dan sesudahnya tidak kurang buku-buku
yang diterbitkan Balai Pustaka. Usaha memperkenalkan sastra dunia kita lihat dengan
terbitnya beberapa bunga rampai, yaitu: Setanggi Timur, kumpulan sajak-sajak
Iran, India, Tiongkok, Jepang, diterjemahkan oleh Amir Hamzah; Puisi Dunia dalam dua jilid, disusun
oleh M. Taslim Ali, Kisah-kisah dari
Eropa dan Tiga Cerita dari Negeri
Dollar susunan Mochtar Lubis, Perkenalan
yaitu empat cerita pengarang Eropa dan Rusia oleh Idrus, Delapan Kisah dari Rusia dikumpulkan dan
diterjemahkan Barus Siregar, Cerita-cerita
dari Tiongkok dikumpulkan Beb Vuyk dan diterjemahkan Moctar Lubis, Himpunan sajak Tionghoa dikumpulkan oleh
Mundingsari, dan lain-lain.
Dalam
esainya tentang Kesusastraan Dunia dalam
Terjemahan Indonesia, Jassin menyebutkan berbagai daerah yang menarik
perhatian pengarang Indonesia, antara lain dari Inggris,
seperti drama Shakespeare
yang diterjemahkan Trisno Sumardjo, yakni Hamlet
Pangeran Denmark, Saudagar Venezia (The Merchant of Venice), Prahara (The
Tempest), Machbet,
Impian di Tengah Musim (A Midsummer Night Dream), Romeo
dan Julia, Manasuka (As you like it), sedang Muhammad Yamin menerjemahkan satu drama, yaitu Julius Caesar.
Beberapa
kesusastraan Amerika yang diterjemahkan antara lain, Tom
Sawyer dan Anak Raja dan Anak Miskin (The Prince and The Pauper), dan seri
kisah-kisah Amerika yang diterbitkan Balai Pustaka. Pengarang Perancis yang
sangat terkenal adalah Alexandre Dumas yang karyanya diterjemahkan Nur Sutan
Iskandar antara lain, Tiga Panglima Perang,
Dua Puluh Tahun Kemudian, dan Graaf de Monte Cristo. Karya pengarang Rusia yang diterjemahkan
antara lain, Ibunda karangan Gorki yang diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer dan karangan
Vsevollod Ivanov Kereta Api Baja 1469 diterjemahkan
Idrus. Dari pengarang Spanyol yang mendapat perhatian, yaitu Cervantes dengan karangannya yang terkenal Don Kisot terjemahan Abdul Muis.
Kemudian dari Arab juga ada Laila Majnun yang
diterjemahkan Hamka.
Beberapa
majalah juga berperan dalam hadirnya sastra terjemahan. Majalah-majalah yang
memuat karya sastra terjemahan sastra dunia antara lain, Arena, Pembangunan, Mimbar Indonesia, dan Kisah.
Majalah-majalah tersebut memuat cerita pendek, esai-esai,
dan pandangan mengenai seni dan kebudayaan. Semisal karya
Tagore, Anton Chekov, Gorki, dan TS. Eliot. Adapun majalah sastra yang sampai
saat ini masih terbit dan menerjemahkan sastra dunia,
yaitu Majalah Horison
bekerja sama dengan Goethe Institut Munchen yang menerbitkan Seri Puisi Jerman
antara lain,
karya Rilke, Brecht, Celan, Satu dan
Segalanya karya Johan Wolfgang von Goethe yang diterjemahkan Agus R.
Sarjono dan Berthold Damshauser.
Selain
menyebutkan pengarang-pengarang dari berbagai wilayah belahan dunia yang
karyanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Jassin juga menjelaskan bahwa
penerjemahan bisa diperluas artinya di sini, yaitu pengambilan langsung pada
jiwa dan pikiran yang mematul kembali pada gaya hidup manusia. Penerjemahan yang
menjelma dalam jiwa dan kehidupan manusia ini salah satu tujuan penerjemahan
dari kesusastraan dunia, penerjemahan yang telah menjadi milik dunia.
Lalu
apakah kualitas karya sastra terjemahan sama dengan karya sastra aslinya? Damono (2009: 94) menjelaskan bahwa
menurut beberapa pengamat, dalam terjemahan selalu saja ada yang hilang dari
aslinya, menyusut, meleset, keliru, derivatif, mekanis, sekunder, dan segala
adjektiva yang pada dasarnya menunjukkan bahwa karya terjemahan itu tidak akan
mengungguli aslinya dan bahwa penerjemah sastra paling-paling hanya bisa
menghasilkan karya yang hanya merupakan bayang-bayang yang pucat dari karya
aslinya.
Seperti
halnya novelet The Old Man and The Sea karya
Ernest Hemingway yang telah diterjemahkan banyak orang dari berbagai negara.
Termasuk di Indonesia, dua terjemahan versi bahasa Indonesia diterjemahkan
Sapardi Djoko Damono dan Dian Vita Ellyati. Sebuah karya yang diterjemahkan
oleh dua orang dengan latar belakang berbeda menimbulkan pengungkapan berbeda. Perbedaan
yang menonjol adalah cara pengungkapan dalam penerjemahan karya Hemingway ini
menimbulkan redaksi kalimat berbeda. Karena latar belakang Damono sebagai
sastrawan, maka nilai sastranya lebih terasa dibandingkan membaca terjemahan
Ellyati. Damono memindahkan teks Lelaki
Tua dan Laut disesuaikan dengan konteksnya, sedangkan Ellyati
menerjemahkannya secara leksikal atau Word
for Word, seperti kutipan berikut.
Lelaki Tua dan Laut versi asli:
He was an old man who fish alone in a skiff in the Gulf
Stream and he had
gone eighty-for days now without taking a fish.
Terjemahan
Damono:
Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah
perahu menangkap ikan di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap empat puluh
hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor ikan pun.
Terjemahan
Ellyati:
Adalah seorang lelaki tua yang pergi ke laut seorang diri
dalam sebauh perahu di Arus Teluk Meksiko yang telah berlayar 84 hari tanpa
membawa hasil ikan seekorpun.
Melihat
perbedaan dalam redaksi penerjemahan tersebut, Damono (2009: 97) menjelaskan
bahwa ada dua jenis keterpengaruhan dalam penerjemahan. Umumnya kita
berpendapat bahwa penerjemah terpengaruh oleh yang diterjemahkannya; dan kita
juga boleh berpendapat bahwa penerjemah justru mempengaruhi karya yang diterjemahkannya.
Jadi, penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan
dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam suatu
kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Dalam hal
ini sebenarnya terjemahan itu oleh orang Perancis dianggap sebagai trahison creatrice, ‘pengkhianatan
kreatif’, sementara orang Italia menyebut traditore
sebagai traditore ‘penerjemahan
adalah penghianatan’.
Terjemahan
Damono dapat dianggap mempengaruhi karya terjemahannya, sedangkan Ellyati
cenderung terpengaruh oleh yang diterjemahkannya. Dengan demikian, karya sastra
terjemahan dapat menimbulkan banyak penafsiran. Tetapi, Damono juga menyebutkan
bahwa Derrida menantang gagasan mengenai keutamaan karya asli. Katanya, yang
disebut asli itupun tidak ada teks yang tidak memanfaatkan teks lain yang ada
sebelumnya. Ia mengusulkan dihapuskannya dominasi atas terjemahan oleh yang
asli; keduanya sama saja derajatnya. Penerjemahan merupakan kegiatan yang sangat
penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks lain --
hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru.
Terjemahan
dengan demikian menyebabkan karya sastra bertahan hidup. Meminjam istilah
Giffort, karena diterjemahkan, karya sastra mengalami second existence, keberadaan atau kehidupan kedua. Dalam kekayaan
sastra kita, epos Mahabharata--seluruhnya atau
bagian-bagiannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk oleh para pengarang kita
selama beberapa zaman; epos yang
berasal dari India itu telah mengalami kehidupan yang kesekian kali di
Indonesia. Beberapa karya lain seperti The
Iliad of Homer, The Odyssey of Homer, Kisah Perjalanan ke Barat dan Ramayana juga telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia.
Terjemahan
sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap
karya sastra milik orang lain di zaman tertentu pula. Krawang Bekasi boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman
perjuangan fisik terhadap sajak MacLeish tentang Perang Dunia II. Jadi, dengan
“mengubah dirinya” karya sastra bisa menembus ruang dan waktu. Hal
yang sering terjadi, pembaca tidak
memiliki kesempatan dan kemampuan untuk berhubungan langsung dengan karya
sastra yang berasal dari zaman atau negeri lain. Dengan adanya terjemahan,
karya sastra dari negara lain bisa masuk, dibaca, dan ditafsirkan pembaca yang
hanya mengerti
bahasa Indonesia. Terjemahan membuka batas negara dan kebudayaan
sehingga hal itu menjembatani masuknya sastra dunia. Beragam terjemahan dapat memperkaya
khasanah kesustaraan Indonesia.
Disarikan dari:
Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: editum.
Hemingway, Ernest. 1983. Lelaki Tua dan Laut. (terj. Sapardi Djoko Damono). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Hemingway, Ernest. 2009. The Old Man and The Sea. (terj. Dian Vita Ellyati). Surabaya:
Selasar Surabaya Publishing.
Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan
Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta: Gramedia.
Perbandingan antara terjemahan Lelaki Tua dan Laut oleh Sapardi Djoko
Damono dan Dian Vita Ellyati dapat dilihat lebih lengkap dalam artikel Nita
Nurhayati berjudul Lelaki Tua dan Laut
dalam Dua Terjemahan. nita_nurhayati.blogspot.com.
ada gk buku manasuka mbak?
BalasHapusq ingin membacanya.