Selasa, 11 Juni 2013

Perempuan dan Kelas Sosial dalam Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer



             Tulisan ini mengungkapkan permasalahan tentang perempuan dan kelas sosial yang melingkupi novel Gadis Pantai. Di akhir tulisan juga dijelaskan posisi Pramoedya Ananta Toer dalam Kesusastraan Indonesia.

Sekilas tentang Gadis Pantai
            Gadis Pantai bercerita tentang tokoh perempuan bernama atau dipanggil Gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Pada usia empat belas tahun, ia dinikahkan dengan sebilah keris sebagai wakil mempelai pria. Gadis Pantai dibawa ke kota beserta rombongan untuk menemui suaminya. Rombongan dari kampung nelayan itu datang ke rumah gedung, kemudian muncullah seorang laki-laki yang disegani yang bertanya apakah Gadis Pantai sudah haid atau belum. Pertanyaan ini membuat teka-teki tersendiri. Gadis Pantai tidak tahu apa itu haid, ia menggeleng ketika ibunya menjelaskan. Lalu ibunya justru mengiyakan pertanyaan itu, sehingga Gadis Pantai diterima untuk tinggal di rumah gedung. Sejak tinggal di rumah gedung itu, panggilan Gadis Pantai berubah menjadi Mas Nganten atau Bendoro Puteri. Semua orang di gedung menaruh hormat padanya.
            Kehidupan Gadis Pantai berubah total, ia diperlakukan sebagai seorang wanita utama di rumah gedung itu. Ia ditemani seorang pelayan tua yang siap mengabdi padanya. Menurut wanita tua itu, tugas Bendoro Puteri hanya dua, yaitu memerintah para pelayan dan menunggu perintah dari Bendoro. Awalnya, ia selalu ingin pulang ke kampungnya. Emak dan Bapaknya membujuk Gadis Pantai untuk tetap bertahan. Memberi pengertian padanya bahwa hidup di kota lebih enak daripada hidup di kampung. Bahwa Gadis pantai beruntung sudah dipilih menjadi wanita utama Bendoro Bupati.
            Semua urusan Gadis Pantai sudah ditangani oleh wanita tua. Sebagai wanita utama, ia hanya tinggal mengangkat jari-jarinya untuk mendapatkan yang diinginkan. Perlakuan Bendoro padanya juga cukup baik, hanya saja Bendoro jarang berada di rumah gedung itu. Gadis Pantai merasa terkekang dalam menjalani gaya hidup yang baru, ia kehilangan kebebasannya sebagai bocah usia belasan tahun yang lincah dan bisa berbuat apappun yang ia suka. Wajahnya berubah ketika ia melihat cermin, lebih cantik, tapi ia merasakan kepalsuan yang tampak dalam cermin. Ia merasa itu bukanlah dirinya, tapi orang lain yang tidak memiliki kebebasan.
            Selain menjadi lebih cantik dan anggun, Gadis Pantai juga didatangi berbagai guru oleh Bendoro, guru ngaji, guru menjahit, guru membaca dan menulis. Ia mulai mempelajari banyak hal dan sudah terbiasa melupakan kampungnya. Pada bagian berikutnya, cerita mengalir dalam kehidupan yang penuh aturan dan ketentutan yang ditetapkan Bendoro.  

Perempuan
            Perempuan tidak semata-mata dilahirkan, perempuan adalah suatu proses menjadi. Dan proses menjadi tidak akan pernah berakhir. Definisi perempuan menurut Beauvoir lebih lengkap lagi dijelaskan oleh Priyatna dalam Tesisnya, yaitu perempuan bukanlah suatu fakta yang ajeg, melainkan lebih merupakan keadaan yang selalu berada dalam proses menjadi, dan itu berarti kemungkinan-kemungkinan yang dimiliki perempuan harus didefinisi (bahwa) tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah situasi: tubuh adalah cengkeraman kita terhadap dunia dan sketsa rencana hidup kita.
            Sedangkan perempuan atau female menurut Sarah Gamble secara harfiah adalah kata yang mengacu pada perorangan yang memiliki seperangkat karakteristik biologis tertentu, mencakup kemampuan untuk melahirkan. Karakter ini dengan demikian menjadi dibedakan dari femininitas yang menggambarkan suatu citra kewanitaan yang dikonstruksi secara sosial. Adapun Mary Daly berpandangan bahwa prinsip perempuan dibuat diam dan tak memiliki kekuasaan dalam wacana patriarkal yang menginginkan pengasingan perempuan dari sifat alami yang dimilikinya. (2010: 295-296).
            Dari definisi di atas, posisi perempuan selalu dikaitkan dengan patriarki. Sementara patriarki  adalah sebuah sistem yang diatur oleh laki-laki, yang kekuasaannya dijalankan melalui institusi sosial, politik, ekonomi, dan agama. Semua feminis menentang patriarki, walaupun mereka berbeda konseptualisasi tentang patriarki. Shulamith Firestone memandang pembentukan perempuan sebagai kelas yang lebih rendah muncul dari fungsi reproduksi mereka yang mengidentifikasi struktur keluarga biologis sebagai pusat terjadinya penindasan terhadap  perempuan di bawah kekuasaan patriarki. (2010: 381).
            Dalam Gadis Pantai ada beberapa tokoh perempuan, antara lain Gadis Pantai, Emak, Wanita Tua, Mardinah, dan Mas Ayu (yang kemunculannya tidak banyak, sehingga tidak dimasukkan dalam pembahasan). Sebagai tokoh utama, deskripsi fisik Gadis Pantai tergambar jelas. Gadis Pantai digambarkan sebagai seorang perempuan berusia empat belas tahun.
Empatbelas tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang. (2011: 11)

            Dalam usia belasan tahun ini, Gadis Panati dinikahkan dengan seseorang yang belum dikenalnya. Posisi perempuan sebagai sebuah properti yang pindah tangan dari kepemilikan bapak menjadi milik suami tampak pada bagian awal cerita.
            Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan denga sebilah keris. Derik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. (2011: 12)

Dari narasi di atas, tampak bahwa seorang perempuan tidak memiliki hak atas dirinya. Sebagai seorang anak perempuan, ia adalah milik orang tuanya. Sehingga orang tua yang mendominasi anak ini, punya kekuasaan untuk menentukan masa depan anaknya. Sang anak tidak diberi pilihan, bahkan tidak mengenali siapa yang akan menjadi pendamping hidupnya. Sebagai seorang anak yang patuh, Gadis Pantai tetap menuruti keinginan orang tuanya. Walaupun dengan pengetahuan yang terbatas tentang pernikahan bahkan tentang kodrat kewanitaan.
Rencana orang tua Gadis Pantai untuk menikahkan anaknya hampir gagal, ketika muncul pertanyaan apakah gadis pantai sudah haid? Gadis Pantai sendiri sama sekali tidak tahu apa itu haid. Emak memncoba memberi tahu, namun karena pengetahuan yang terbatas. Gadis Panati hanya bisa menggeleng, dan tatapan Emak kemudian memaksanya untuk mengangguk. Dalam pikiran Emak, jika Gadis Pantai menjadi istri Bendoro, maka hidupnya akan lebih sejahtera.
“Mulai hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah bicaranya: “Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia”. (2011: 14)

Emak meyakinkan Gadis Pantai pada kedudukannya yang sekarang. Sebagai seorang ibu, ia merasa bangga memiliki menantu seorang pembesar, orang yang berkuasa dan sering dipanggil Bendoro Bupati.    
            Jika di awal penjelasan, Gadis Pantai tidak memiliki hak dalam perkawinan, pun halnya demikian dalam perceraian. Setelah Gadis Pantai melahirkan anak perempuan, Bapaknya dipanggil ke kota untuk menghadap Bendoro Bupati. Ternyata dipanggilnya sang Bapak untuk menceraikan puterinya. Gadis Pantai sama sekali tidak dilibatkan. Sebagai seorang istri, ia tak memiliki hak untuk berpendapat atas keputusan suaminya yang sebelah pihak. Bahkan, Gadis Pantai diusir dari rumah dan disuruhb kembali ke kampung. Naluri keibuannya berontak, apabila ternyata ia harus dipisahkan dari buah hatinya. Namun, kuasa Bupati telah meluruhkan hak ibu atas anak kandungnya itu.
            Untuk membahas lebih lanjut tentang perbedaan kelas dalam novel Gadis Pantai perlu adanya sebuah pendekatan. Adapun pembahasan tentang kelas terdapat dalam Marxis, dan pembahasan tentang perempuan yang telah lebih dulu dibahas termasuk ke dalam feminisme. Sehingga tulisan ini akan berusaha menggali lebih dalam tentang perbedaan kelas tersebut menggunakan pendekatan feminisme Marxis.

Feminisme Marxis-Sosialis
            Priyatna mengatakan bahwa feminisme lahir dan berkembang dalam konteks tertentu (ruang, waktu, latar tertentu). Feminisme berdialog dengan konteks spesifik tempatnya berkembang/dikembangkan. Sedangkan feminisme yang membahas tentang perbedaan kelas adalah Feminisme Marxis. Tong (2010: 138) mengungkapkan bahwa Feminisme Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik, sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup. Feminism Marxis lebih banyak membahas perbedaan kelas yang terjadi karena dampak kapitalisme. Perbedaan kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam ranah kapital.      
Adapun yang berkaitan dengan narasi Gadis Pantai adalah wacana tentang alienasi yang juga termasuk dalam bahasan Feminisme Marxis. Robert Heilbroner menjelaskan bahwa alienasi adalah pengalaman yang secara dalam mengakibatkan perasaan terfragmentasi atau terpecah belah. Kemudian Alison Jaggar menjelaskan tentang Alienasi Perempuan. Adanya alienasi seksualitas, yakni perempuan teralienasi dari tubuhnya sendiri, dan perempuan juga teralienasi dari perempuan lain. Ada juga yang disebut Alienasi Motherhood yaitu, perempuan teralienasi dari ‘produknya’ dan perempuan teralienasi dari proses kerja reproduksi. Alienasi yang ketiga yaitu alienasi dalam pengasuhan anak, yaitu adanya doktrin yang diciptakan oleh sistem yang patriarkal.
            Feminisme Marxis, sebagai sebuah teori pembebasan, Marxisme telah begitu banyak membahas soal penindasan (opression) perempuan. Namun, Marxisme melihat pembagian kelaslah yang menjadi akar dari penindasan perempuan bukan gender. (Gamble, 2010: 349). Sedangkan class atau kelas secara konvensional menandakan sekelompok orang yang beragam, yang berasal dari level ekonomi dan pendidikan yang sama. Sisitemnya pun bersifat hierarkis, dalam pengelompokkan kelas tidaklah sama menyangkut status atau kekuasaan. Kelas dalam analisis Marxis memfokuskan pada relasi-relasi penindasan antara kelas-kelas dan ideologi-ideologi dengan melanggengkan situasi yang tidak seimbang. Namun, sudut pandang feminis menambahkan dimensi lain dalam perdebatan ini.
Feminisme Marxis terfokus pada apakah perempuan dapat diidentifikasi sebagai suatu kelas yang ditekan dalam diri mereka, di dalam institusi keluarga mereka tersubordinasi oleh laki-laki. Sebagaimana ditegaskan Michele Barrett, bahwa aspek relasi perempuan terhadap struktur kelas adalah bahwa relasi tersebut dimediasi, paling tidak hingga taraf tertentu melalui konfigurasi tentang keluarga, ketergantungan pada laki-laki, dan pekerjaan domestik. (2010: 262-263).
Dalam konteks Indonesia, menurut Djajanegara (2000: 30), kritik feminis-sosialis atau kritik sastra feminis-Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Feminisme jenis ini didasarkan atas pandangan bahwa kaum wanita (perempuan) harus bangkit dari belenggu rumah tangga dan budaya patriarkhat laki-laki. Pandangan lainnya tentang feminis ini adalah menyatakan bahwa kaum perempuan disamakan dengan kelas buruh yang memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau alat-alat produksi. Dalam masyarakat patriarkhat, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang terbatas pada lingkungan serta kehidupan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kaum feminis Marxis mempunyai gagasan bahwa hubungan antara kehidupan kedua kubu tersebut dapat disamakan atau disejajarkan. Perbedaan kelas dalam feminisme Marxis ini digunakan untuk menguraikan perbedaan kelas yang muncul dalam novel Gadis Pantai. Dalam narasi awal Gadis Pantai ini tampak perbedaan kelas antara orang-orang nelayan dengan orang-orang (kaum bangsawan atau priyayi).

Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai dan Bendoro Bupati
            Hubungan antara Gadis Pantai yang sudah menjadi Mas Nganten dengan suaminya yang Bendoro Bupati, bukanlah selayaknya hubungan antara suami dan isteri, melainkan hubungan antara pelayan dengan tuannya. Gadis Pantai sudah diberi tahu beberapa aturan dan perkataan yang harus ia ucapkan ketika berbicara dengan suaminya.
            “Sahaya Bendoro” kata inilah yang sering diulanginya untuk menjawab pertanyaan Bendoro.
            Pernyataan ini pula yang sering dikatakan oleh mBok kepadanya. Jadi hubungan antara suami isteri ini tak berjalan normal. Gadis Pantai dengan keluguannya hanya bisa protes dan meluapkan berbagai pertanyaan pada mBok dan tak bisa ia utarakan pada Bendoro.
            Gadis Pantai sadar bahwa dirinya telah berubah, bahkan kehilangan kebebasan.
            “Gadis Pantai tersadar sekarang betapa takutnya ia pada kesunyian, pada keadaan tak boleh bergerak. Ia tersedan-sedan seorang diri. Dan tak ada seorang pun peduli padanya. (2011: 35)

            Daerah asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.
            “… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai ini. Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran, orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka miskin.” (2011: 41)

            Mendengar ini, Gadis Pantai ingin berontak, namun ia tak berani mengatakan apapun. Dalam narasi terdapat penjelasan yang digumamkan mBok dalam hati tentang kedudukan Gadis Pantai sebenarnya.
            Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dengan kaum Bendoro di daerah pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan, itu penghinaan bila menerimanya. (2010: 80)

Dari narasi mBok pada halaman lain, dapat kita lihat kelas sosial antara Gadis Pantai dengan Bendoro Bupati.
            Ingin sekali wanita tua itu peringatkan Gadis Pantai, tapi ia tak berani. Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa berganti 25 kali tanpa sedikitpun mengurangi perbawa Bendoro. Ia tahu besok atau lusa paling lama setelah Gadis Pantai melahirkan anak pertama, wanita muda tak berdosa ini pun mungkin akan langkahi dan lalui jalan hidupnya sendiri tanpa ragu-ragu lagi: jalan hidup sebagai sahaya. Dan ibu muda ini lebih menderita daripadanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia tak boleh bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi Bendoronya, orang yang harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya perasaannya sendiri, dan dengan lemah-lembut dicobanya juga memperingatkan Gadis Pantai akan nasibnya yang akan datang. (2010: 98)
Dengan kedudukan yang dirasa lebih rendah, Gadis Pantai tidak memiliki kebebasan berbicara pada siapapun. Namun, akhirnya ia sadar tentang posisinya yang sekarang.
            Begitulah lama-lama ia mengerti, di sini ia menjadi seorang ratu yang memerintah segala. Hanya ada seorang saja yang berhak memerintahnya: Bendoro, tuannya, suaminya. (2010: 82)

            Gadis Pantai juga menggugat hubungan antara suami-istri yang berbeda antara orang kota dan kampung.
            “Apakah di kota suami-istri tidak pernah bicara?”
            “Ah, Mas Nganten, di kota, barangkali di semua kota -- dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas Nganten. (2010: 87)

            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Gadis Pantai dan Bendoro bukanlah hubungan suami-istri yang normal. Melainkan hanyalah hubungan antara majikan dan pelayan. Kelas Bendoro yang lebih tinggi membuat Gadis Pantai yang kelasnya lebih rendah hanya sebagai pemuas seksualnya saja. Meskipun dalam ikatan pernikahan yang syah, Gadis Pantai tetaplah seorang sahaya: istri percobaan yang bisa berganti kapan saja Bendoro inginkan.
           
Perbedaan Kelas Sosial antara Bendoro Bupati dengan mBok   
            Narasi deskripsi fisik Bendoro Bupati dari sudut pandang Gadis Pantai ini menunjukkan kelas sosial antara Bendoro dengan mBok.
            Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning langsat berwajah agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan berbaju teluk belanga dari sutera putih dan bersarung bugis hitam dengan beberapa genggang putih tipis-tipis. Ia lihat orang itu membangunkan bujang dengan kakinya. Dan bujang itu bangun, cepat-cepat menggulung tikar dengan bantal di dalamnya, merangkak mundur kemudian berdiri membungkuk, keluar dari pintu lenyap dari pandangan. (2011: 31)
            Bendoro Bupati membagunkan bujang dengan kakinya. Narasi ini menunjukkan betapa rendah kelas sosial seorang bujang di mata tuannya, bahkan untuk membangunkan saja, tangannya tak sudi menjamah tubuh bujang itu, justru dengan kakinya. Seolah kaki majikan ini sama rendahnya dengan harga diri pelayannya. Kaki menjadi simbol yang menunjukkan bahwa kelas sosial pelayan lebih rendah daripada majikan.

Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai dan mBok
            Status sosial Gadis Pantai berubah setela ia dinikahkan oleh Bendoro Bupati. Tampak perbedaan kelas sosial antara Gadis Pantai yang sekarang dipanggil Mas Nganten atau Bendoro Puteri dengan wanita utama yang menjadi pelayannya.
Gadis Pantai berdiri dari kursi. Bujang itu membungkuk padanya, begitu rendah. Mengapa ia membungkuk? Sebentar tadi ia masih sesamanya. Mengapa ia begitu merendahkan dirinya sekarang? Gadis Pantai jadi bimbang, takut, curiga. Apakah semua ini? (2011: 26)

            Seperti kata Emaknya, derajat hidup atau status sosial Gadis Pantai berubah atau semakin meningkat karena ia telah menjadi Nyonya Bendoro Bupati. Sehingga hal ini menimbulkan kesenjangan dalam hubungan antara Gadis Pantai dan mBok. Gadis Pantai sudah berubah status menjadi Bendoro Putri dan mBok adalah sahayanya.
            “Mengapa mBok tidur di bawah? Mengapa tak mau di sampingku sini?”
            “Sahaya adalah sahaya. Dosa pada Bendoro, pada Allah, seperti sahaya begini menempatkan diri lebih tinggi dari lutut Bendoronya.” (2011: 64)

            Beginilah perbedaan kelas sosial antara isteri majikan dan pelayan. Perlakuan istimewa yang ditunjukkan pelayan merupakan bentuk pengabdian. Meskipun Gadis Pantai memiliki kedudukan lebih mulia sebagai istri majikan, namun ia sebenarnya tidak menginginkan adanya kesenjangan. Ia membutuhkan seorang teman, ketika suaminya -- Bendoro Bupati pergi. Perbedaan kelas sosial tak memungkinkan hal itu terjadi.       
           
Perbedaan Kelas Sosial antara dua Perempuan (Gadis Pantai dan Mardinah)
            Setelah mBok diusir, datanglah seorang perempuan muda bernama Mardinah untuk menggantikan tugas mBok melayani wanita utama. Namun, sikap Mardinah berbeda dari patutnya sikap seorang pelayan. Mardinah justru tidak menghormati Gadis Pantai sebagai wanita utama, ia merasa dirinya lebih mulia karena berasal dari kota yang pandai membaca dan menulis, sehingga ia melakukan apapun yang diinginkannya. Medapati sikap yang demikian, Gadis Pantai tidak tinggal diam.
            “Orang kota, bangun! Menurut ukuran orang kampung tidaklah sopan tidur di tempat orang lain tanpa ijin.” (2010: 127)

            Ada satu bagian cerita ketika Gadis Pantai kembali ke kampungnya ditemani oleh Mardinah. Mardinah masih sama dengan sifatnya sebagai orang kota yang memandang orang kampung sebagai kelas rendah. Namun, Gadis Pantai sadar akan posisi superioritasnya yang sekarang. Ia menyuruh Mardinah pulang ke kota.
            “Kau dengar, Mardinah? Di sini, di tempat Bendoro suamiku tak ada, akulah Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat, kau mesti menginap. Suka atau tidak tanggunglah sendiri.” (2010: 161)
           
            Konflik antara Gadis Pantai dan Mardinah terus berlangsung hingga akhirnya terungkap kedok Mardinah yang mempunyai maksud jahat pada Gadis Pantai. Mardinah ingin merebut posisi Gadis Pantai sebagai wanita utama, ia juga berencana akan membunuh Gadis Pantai. Mengetahui rencana busuk ini, penduduk kampung memberikan hukuman pada Mardinah dengan cara menikahkannya dengan pemuda kampung yang sama-sama dicurigai berkhianat pada kampungnya sendiri. Di sinilah kelas sosial menjadi berbalik. Jika Gadis Pantai menikah dengan Bendoro Bupati untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi serta kehormatan dalam kelas bangsawan. Sementara Mardinah justru harus menerima konsekuensi atas perbuatan jahatnya itu dan akhirnya menikah dengan pemuda kampung yang status sosialnya lebih rendah.
           
Perbedaan Kelas Sosial antara Gadis Pantai (yang menjadi wanita utama) dengan Emak dan Bapak kandungnya.
            Perbedaan kelas ini terjadi ketika pertengkaran antara Gadis Pantai dan Bapaknya.  Gadis Pantai mengeluh karena tidak betah dan ingin pulang ke kampungnya. Kemudian, wanita tua yang menjadi pelayan Gadis Pantai memberi penjelasan tentang kedudukan Mas Nganten sekarang yang telah berubah, berbeda dengan bapak dan emaknya.
            “Kalau wanita utama suka,” bujang itu meneruskan, “Mas Nganten bisa usir bapak dari kamar.”
            Gadis Pantai meronta dari pelukannya di dada emak. Ia terisak-isak. Sekarang ia berlutut merangkul kaki bapak. “Ampuni aku bapak, pukullah anakmu ini.” (2011: 45)

            Dari penjelasan mBok tentang perubahan kedudukan Gadis Pantai yang sekarang yang dulu, membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi berubah. Perlakuan orang tua terhadap anak juga berubah karena status sosial yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa kelas sosial lebih jauh dapat meleburkan hubungan sedarah. Kelas sosial telah mengubah hubungan sedarah antara orang tua dan anak kandungnya.
            Gadis Pantai tidak hanya dimuliakan oleh kedua orang tua kandungnya, tetapi ia juga dibanggakan penduduk kampungnya.
            Setiap orang merasa bangga, seorang gadis dari kampung mereka telah jadi orang kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro. (2011: 170)

            Namun, ternyata kemuliaan ini tak bertahan lama. Gadis Pantai diusir dari rumah Bendoro Bupati setelah melahirkan anak perempuan. Karena pengusiran dan perceraiannya dengan Bendoro Bupati, Gadis Pantai kembali ke status awal yang disandangnya. Gadis Pantai menjadi sahaya, seperti orang kebanyakan. Dan ingatan tentang masa lalu, saat para penduduk menghormatinya ini membuat Gadis Pantai tak kembali ke kampungnya bersama Bapaknya. Gadis Pantai lebih memilih untuk mencari wanita tua yang melayaninya selama di gedung. Sebelum pergi, wanita tua itu pernah bercerita bahwa mungkin saja ia pergi ke Blora.   
           
Kesadaran Perempuan (Gadis Pantai) terhadap Opresi
            Opresi (Opression) secara sederhana diartikan sebagai penindasan. Bell Hooks mendefinisikan feminisme sebagai perjuangan mengakhiri penindasan yang bersifat seksis. (Gamble, 2010: 374). Adapun analisis Marxis mengenai kelas telah menyediakan bagi para feminis beberapa alat konseptual yang diperlukan untuk memahami opresi terhadap perempuan. (2010: 146). Dengan demikian, opresi bisa diartikan sebagai tekanan atau ketimpangan yang dihadapi perempuan. Dalam beberapa hal, Gadis Pantai sebagai perempuan sadar akan dirinya yang telah teropresi oleh aturan, oleh Bendoro Bupati, dan oleh posisinya sekarang yang telah menjadi Bendoro Putri.
            Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor ayam direnggut dari rumpunnya. Harus hidup seorang diri, di tengah orang yang begitu banyak. Tak boleh punya sahabat, Cuma boleh memerintahkan. (2011: 46)

            Gadis Pantai juga sadar akan tubuhnya yang telah berubah. Dirinya telah menjadi seperti yang bukan dirinya lagi, tapi dirinya yang lain yang telah terkonstruksi oleh aturan di gedung itu.
            Pada cermin Gadis Pantai melihat wajahnya sendiri: itu bukan diriku! Pekiknya dalam hati. Wajah itu memang bukan wajahnya yang kemarin dulu. Wajah itu seperti boneka, taka da tanda-tanda kebocahannya lagi yang kemarin dulu. (2011: 49)

Apabila kita kembali merujuk pada pendekatan Feminisme Marxis, ada yang disebut sebagai alienasi, salah satunya adalah alienasi dalam pengasuhan anak, yaitu adanya doktrin yang diciptakan oleh sistem yang patriarkal. Gadis Pantai merasakan alienasi ini yaitu setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia dipisahkan dengan anaknya. Kuasa Bendoro Bupati teramat kuat, dan Gadis Pantai telah diceraikan dan diusir dari rumah gedung itu. Dengan berat hati, ia tinggalkan anaknya.
“Aku pikir, barangkali ini memang sebaiknya, biar begini berat rasanya. Biarlah ia tak perlu tahu emaknya. Dia akan jadi seperti bapaknya. Ia akan memerintah. Dia akan tinggal di gedung -- tak perlu melihat laut. Ah, bapak, aku harus berikan semua itu. Aku harus berikan.” (2010: 267)

Gadis Pantai dan bapaknya pulang ke kampung, namun dalam perjalanan pikiran Gadis Pantai berubah. Ia tak ingin pulang ke kampungnya, ia ingin mencari wanita tua yang pernah melayaninya di gedung. Seingatnya wanita tua itu pergi ke Blora. Gadis Pantai tak sanggup kembali ke kampungnya, ia pun berpisah dengan bapaknya.

Gadis Pantai dan Pramoedya Ananta Toer
            Sebuah Tesis tentang Gadis Pantai ditulis oleh Savitri Scherer. Dalam Tesisnya ini, Scherer mengkaji Gadis Pantai dalam Idealisme Progresif dalam Sastra Pramoedya. Menurut Scherer, karakter utama cerita ini, si Gadis Pantai, seperti banyak karakter Pramoedya, adalah seseorang yang terlantar, tercerabut pada usia empat belas tahun dari desa nelayan tempat ia dilahirkan dan menikah dengan laki-laki keturunan bangsawan yang sangat religius dan pejabat di kota tetangga. Namun, kesamaannya dengan karakter tercerabut yang dirancang Pramoedya pada masa-masa yang lebih awal dalam karir kepenulisannya, berakhir di sini.  
            Scherer menyebut bahwa Gadis Pantai merupakan potret revolusioner seorang tokoh perempuan. Potret Gadis Pantai sendiri tidak hanya tajam, tetapi juga revomusioner. Dengan membuat sang tokoh perempuan, yang berasal dari lingkungan biasa menolak tunduk pada kelas yang berkuasa, dan mempertanyakan keadilan atas hak-hak yang dinikmati kelas tersebut. (1981: 112)
            Sementara untuk melihat posisi Pramoedya Ananta Toer dalam Kesusastraan Indonesia, kita dapat membaca tulisan Acep Iwan Saidi tentang Arok Dedes dan Anak Haram Pramoedya Ananta Toer, Wacana Sejarah dan Kekuasaan dalam Ideologi Realisme Sosialis . Saidi mengungkapkan bahwa sosok Paramoedya Ananta Toer (selanjutnya hanya akan disebut Pram) adalah sosok fenomenal dalam kesusastraan Indonesia. Ada beberapa hal yang menyebabkan sastrawan ini menjadi demikian. Pertama, Pram adalah salah seorang penulis terbaik prosa Indonesia, kalau tidak bisa diakatakan yang terbaik. Dunia internasional pun mengakuinya sehingga ia pernah dicalonkan sebagai pemenang hadiah nobel dari Indonesia. Kedua, keterlibatannya dalam organisasi Lekra menyebabkan ia pernah menjadi sosok angkara pada zaman organisasi organisasi itu berjaya, paling tidak bagi kelompok Manifes Kebudayaan. kelompok seniman yang berseberangan dengannya.
Ketiga, pada zaman orde baru berjaya, ia harus menjalani nasib sebaliknya dari apa yang ia jalani pada masa sebelumnya: mendekam di Pulau Buru. Buku-bukunya pun tidak boleh beredar di Indonesia. Keempat, ia menerima hadiah Magsaysay. Kelima, ketika orba runtuh dan orang mabuk kebebasan, Pram kembali ramai dibicarakan. (2006: 59).
Pramoedya Ananta Toer selalu dikaitkan dengan realisme sosialis. Realisme sosialis adalah terminologi yang dipakai para kritikus Marxis untuk fiksi yang dianggap menggambarkan atau merefleksikan pandangan Marxis bahwa pertentangan antarkelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat. (Saut Situmorang, 2009: 108). Bertolak dari paham inilah, Pram merespons banyak peristiwa yang dialaminya dengan cara menuliskannya dalam bentuk fiksi. Dari sumber lain, yaitu video dokumenter yang diproduksi Yayasan Lontar, dideskripsikan bahwa Pram selalu mengingat pesan ibunya: “Jadilah manusia bebas. Jadi majikan bagi dirimu sendiri dan jangan melanggar hak orang lain. Nasihat ibunya ini membentuk pribadi Pram menjadi individualis, yang tidak bisa memerintah dan tidak mau diperintah. Pram juga tidak kompromis dan terus menantang untuk menjadi dirinya sendiri.
Keberhasilan Pram dalam berkarya adalah karena gagasannya yang secara dalam membahas kemanusiaan, sisi humanisme yang mengusung kebebasan manusia. Kemudian Pram menganggap bahwa karya merupakan anak rohani, yang menempuh hidupnya sendiri dalam khasanah sastra, tergantung nasib mereka. Karena itu, Pram masih tetap menulis meskipun karyanya banyak dilarang. Bagi Pram, orang oleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.    
  
Sekadar Penutup
            Demikian uraian tentang Perempuan dan Kelas Sosial dalam Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Dari narasi Gadis Pantai ini, tampak bahwa Pramoedya Ananta Toer dengan gaya realisme sosialisnya ingin mengungkapkan perbedaan kelas sosial yang mewujud antara kaum priyayi dan orang kebanyakan. Antara Priyayi dan bukan Priyayi. Antara orang kota dan orang kampung yang dianggap rendah dan tidak tahu apa-apa. Novel Gadis Pantai menggambarkan kebobrokan para priyayi itu melalui karakter Bendoro Bupati yang memosisikan perempuan kampung sebagai pemuas hasrat seksualnya. Priyayi lain yang telah terjebak dengan keburukan sikapnya ditunjukkan oleh Mardinah yang akhirnya harus menerima hukuman dan menikah dengan pemuda kampung yang kelas sosialnya lebih rendah.  
            Kelas sosial ternyata bukanlah sebuah status yang ajeg, terjadi perubahan kelas yang dialami Gadis Pantai ketika sebelum menikah dan setelah menikah. Status sosial Gadis Pantai menjadi berubah derajatnya lebih tinggi setelah menikah dengan Bendoro Bupati. Kemudian berubah pada status semula ketika Gadis Pantai diceraikan secara sepihak oleh Bendoro tersebut. Dalam pernikahan yang dengan perantara sebilah keris ini memosisiakn perempuan kampung sebagai kaum marginal. Perempuan yang teropresi oleh kekuasaan kelas yang lebih tinggi. Meskipun pada bagian-bagian tertentu, Gadis Pantai dapat menikmati kemewahan dan keberuntungannya sebagai perempuan kampung yang terpilih menjadi istri Bendoro Bupati, namun status dirinya sebagai seorang istri bukanlah istri sebenarnya yang mutlak. Pernikahannya dengan Bendoro Bupati memang syah, tapi Gadis Pantai hanyalah istri percobaan, istri latihan sebelum Bendoro Bupati memutuskan untuk menikah dengan perempuan sekelasnya.
            Kebahagiaan Gadis Pantai ternyata hanya sementara, pada akhirnya tak hanya hidup sebagai janda muda berusia enam belas tahun. Ia pun tak memiliki hak asuh atas anak kandungnya. Menurut Feminisme Marxis-Sosialis, Gadis Pantai mengalami alienasi dalam pengasuhan anak. Gadis Pantai diusir dari rumah Bendoro Bupati setelah tiga bulan melahirkan anak perempuan. Begitulah kehidupan berlangsung dalam rel kesenjangan kelas sosial. Seperti yang telah dibahas dalam feminisme Marxis, bahwa perbedaan kelas membuat perempuan dirugikan. Golongan kelas atas bertindak semena-mena terhadap golongan kelas bawah. Dan feminisme telah membuka ruang bagi perempuan untuk mengkritisi ketimpangan ini. Seperti halnya Pram yang telah berusaha mengungkapkan realitas feodalisme Jawa ke dalam novel Gadis Pantai yang tragis dan menyentuh nilai kemanusiaan.  
 


Referensi

Djajanegara, Sunarjati. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Gamble, Sarah. 2010. Feminisme & Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra.

Saidi, Acep Iwan. 2006. Matinya Dunia Sastra: Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pilar Media.

Scherer, Savitri. 1981. Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Jakarta: Komunitas Bambu.

Situmorang, Saut. 2009. Politik Sastra. Yogyakarta: Sic.

Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.

Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought (Terj. Aquarini Priyatna). Yogyakarta: Jalasutra.

Video Dokumenter, Pramoedya Ananta Toer. Produksi Yayasan Lontar.

Senin, 29 April 2013

Sastra Terjemahan Gerbang Sastra Dunia



Sastra Terjemahan Gerbang Sastra Dunia

Sastra terjemahan merupakan pintu masuk bagi sastra dunia. Keberadaan sastra terjemahan menjadi sangat penting bagi pembaca yang hanya menguasai bahasa negaranya. Menurut Jassin (1985: 153), ada dua jalan yang terbuka untuk memperkenalkan kesusastraan dunia pada masyarakat Indonesia. Yang pertama ialah dengan jalan menyadur dan kedua dengan menerjemahkan. Saduran menghilangkan sama sekali suasana asli dari masyarakat bersangkutan, sebaliknya bagi masyarakat Indonesia mungkin lebih dapat diresapkan karena disesuaikan dengan iklim alam pikiran masyarakat sendiri. Sebaliknya terjemahan sering kali dirasakan terlalu asing oleh sebagian rakyat karena lingkungan dan pendidikannya belum terbiasa dengan alam pikiran yang lain dari alamnya sendiri. Kesukaran menerjemahkan terletak pula kecuali dalam isi yang mengandung suasana rasa hidup yang asing, juga dalam bahasa yang berlainan struktur dan kandungan isinya. Terutama pada permulaan bangun kesusastraan Indonesia pada awal abad XX banyak pengarang mengambil jalan pertama, tapi tidak kurang pula merasakan terlalu banyak yang hilang dengan jalan demikian dan karena itu lebih menyukai jalan terjemahan.
Penerjemahan dilakukan dengan giat di masa revolusi dan sesudahnya tidak kurang buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka. Usaha memperkenalkan sastra dunia kita lihat dengan terbitnya beberapa bunga rampai, yaitu: Setanggi Timur, kumpulan sajak-sajak Iran, India, Tiongkok, Jepang, diterjemahkan oleh Amir Hamzah; Puisi Dunia dalam dua jilid, disusun oleh M. Taslim Ali, Kisah-kisah dari Eropa dan Tiga Cerita dari Negeri Dollar susunan Mochtar Lubis, Perkenalan yaitu empat cerita pengarang Eropa dan Rusia oleh Idrus, Delapan Kisah dari Rusia dikumpulkan dan diterjemahkan Barus Siregar, Cerita-cerita dari Tiongkok dikumpulkan Beb Vuyk dan diterjemahkan Moctar Lubis, Himpunan sajak Tionghoa dikumpulkan oleh Mundingsari, dan lain-lain.  
Dalam esainya tentang Kesusastraan Dunia dalam Terjemahan Indonesia, Jassin menyebutkan berbagai daerah yang menarik perhatian pengarang Indonesia, antara lain dari Inggris, seperti drama Shakespeare yang diterjemahkan Trisno Sumardjo, yakni Hamlet Pangeran Denmark, Saudagar Venezia (The Merchant of Venice), Prahara (The Tempest), Machbet, Impian di Tengah Musim (A Midsummer Night Dream), Romeo dan Julia, Manasuka (As you like it), sedang Muhammad Yamin menerjemahkan satu drama, yaitu Julius Caesar.
Beberapa kesusastraan Amerika yang diterjemahkan antara lain, Tom Sawyer dan Anak Raja dan Anak Miskin (The Prince and The Pauper), dan seri kisah-kisah Amerika yang diterbitkan Balai Pustaka. Pengarang Perancis yang sangat terkenal adalah Alexandre Dumas yang karyanya diterjemahkan Nur Sutan Iskandar antara lain, Tiga Panglima Perang, Dua Puluh Tahun Kemudian, dan Graaf de Monte Cristo. Karya pengarang Rusia yang diterjemahkan antara lain, Ibunda karangan Gorki yang diterjemahkan Pramoedya Ananta Toer dan karangan Vsevollod Ivanov Kereta Api Baja 1469 diterjemahkan Idrus. Dari pengarang Spanyol yang mendapat perhatian, yaitu Cervantes dengan karangannya yang terkenal Don Kisot terjemahan Abdul Muis. Kemudian dari Arab juga ada Laila Majnun yang diterjemahkan Hamka.
Beberapa majalah juga berperan dalam hadirnya sastra terjemahan. Majalah-majalah yang memuat karya sastra terjemahan sastra dunia antara lain, Arena, Pembangunan, Mimbar Indonesia, dan Kisah. Majalah-majalah tersebut memuat cerita pendek, esai-esai, dan pandangan mengenai seni dan kebudayaan. Semisal karya Tagore, Anton Chekov, Gorki, dan TS. Eliot. Adapun majalah sastra yang sampai saat ini masih terbit dan menerjemahkan sastra dunia, yaitu Majalah Horison bekerja sama dengan Goethe Institut Munchen yang menerbitkan Seri Puisi Jerman antara lain, karya Rilke, Brecht, Celan, Satu dan Segalanya karya Johan Wolfgang von Goethe yang diterjemahkan Agus R. Sarjono dan Berthold Damshauser.  
Selain menyebutkan pengarang-pengarang dari berbagai wilayah belahan dunia yang karyanya diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Jassin juga menjelaskan bahwa penerjemahan bisa diperluas artinya di sini, yaitu pengambilan langsung pada jiwa dan pikiran yang mematul kembali pada gaya hidup manusia. Penerjemahan yang menjelma dalam jiwa dan kehidupan manusia ini salah satu tujuan penerjemahan dari kesusastraan dunia, penerjemahan yang telah menjadi milik dunia.  
Lalu apakah kualitas karya sastra terjemahan sama dengan karya sastra aslinya? Damono (2009: 94) menjelaskan bahwa menurut beberapa pengamat, dalam terjemahan selalu saja ada yang hilang dari aslinya, menyusut, meleset, keliru, derivatif, mekanis, sekunder, dan segala adjektiva yang pada dasarnya menunjukkan bahwa karya terjemahan itu tidak akan mengungguli aslinya dan bahwa penerjemah sastra paling-paling hanya bisa menghasilkan karya yang hanya merupakan bayang-bayang yang pucat dari karya aslinya.  
Seperti halnya novelet The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway yang telah diterjemahkan banyak orang dari berbagai negara. Termasuk di Indonesia, dua terjemahan versi bahasa Indonesia diterjemahkan Sapardi Djoko Damono dan Dian Vita Ellyati. Sebuah karya yang diterjemahkan oleh dua orang dengan latar belakang berbeda menimbulkan pengungkapan berbeda. Perbedaan yang menonjol adalah cara pengungkapan dalam penerjemahan karya Hemingway ini menimbulkan redaksi kalimat berbeda. Karena latar belakang Damono sebagai sastrawan, maka nilai sastranya lebih terasa dibandingkan membaca terjemahan Ellyati. Damono memindahkan teks Lelaki Tua dan Laut disesuaikan dengan konteksnya, sedangkan Ellyati menerjemahkannya secara leksikal atau Word for Word, seperti kutipan berikut.

Lelaki Tua dan Laut versi asli:
He was an old man who fish alone in a skiff in the Gulf
Stream and he had gone eighty-for days now without taking a fish.

Terjemahan Damono:
Ia seorang lelaki tua yang sendiri saja dalam sebuah perahu menangkap ikan di Arus Teluk Meksiko dan kini sudah genap empat puluh hari lamanya tidak berhasil menangkap seekor ikan pun.

Terjemahan Ellyati:
Adalah seorang lelaki tua yang pergi ke laut seorang diri dalam sebauh perahu di Arus Teluk Meksiko yang telah berlayar 84 hari tanpa membawa hasil ikan seekorpun.

Melihat perbedaan dalam redaksi penerjemahan tersebut, Damono (2009: 97) menjelaskan bahwa ada dua jenis keterpengaruhan dalam penerjemahan. Umumnya kita berpendapat bahwa penerjemah terpengaruh oleh yang diterjemahkannya; dan kita juga boleh berpendapat bahwa penerjemah justru mempengaruhi karya yang diterjemahkannya. Jadi, penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Dalam hal ini sebenarnya terjemahan itu oleh orang Perancis dianggap sebagai trahison creatrice, ‘pengkhianatan kreatif’, sementara orang Italia menyebut traditore sebagai traditore ‘penerjemahan adalah penghianatan’.
Terjemahan Damono dapat dianggap mempengaruhi karya terjemahannya, sedangkan Ellyati cenderung terpengaruh oleh yang diterjemahkannya. Dengan demikian, karya sastra terjemahan dapat menimbulkan banyak penafsiran. Tetapi, Damono juga menyebutkan bahwa Derrida menantang gagasan mengenai keutamaan karya asli. Katanya, yang disebut asli itupun tidak ada teks yang tidak memanfaatkan teks lain yang ada sebelumnya. Ia mengusulkan dihapuskannya dominasi atas terjemahan oleh yang asli; keduanya sama saja derajatnya. Penerjemahan merupakan kegiatan yang sangat penting sebab memungkinkan suatu teks meneruskan kehidupannya di konteks lain -- hidupnya menjadi baru kembali di dalam konteks yang baru.  
Terjemahan dengan demikian menyebabkan karya sastra bertahan hidup. Meminjam istilah Giffort, karena diterjemahkan, karya sastra mengalami second existence, keberadaan atau kehidupan kedua. Dalam kekayaan sastra kita, epos Mahabharata--seluruhnya atau bagian-bagiannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk oleh para pengarang kita selama beberapa zaman; epos yang berasal dari India itu telah mengalami kehidupan yang kesekian kali di Indonesia. Beberapa karya lain seperti The Iliad of Homer, The Odyssey of Homer, Kisah Perjalanan ke Barat dan Ramayana juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Terjemahan sebenarnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap karya sastra milik orang lain di zaman tertentu pula. Krawang Bekasi boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap sajak MacLeish tentang Perang Dunia II. Jadi, dengan “mengubah dirinya” karya sastra bisa menembus ruang dan waktu. Hal yang sering terjadi, pembaca tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk berhubungan langsung dengan karya sastra yang berasal dari zaman atau negeri lain. Dengan adanya terjemahan, karya sastra dari negara lain bisa masuk, dibaca, dan ditafsirkan pembaca yang hanya mengerti bahasa Indonesia. Terjemahan membuka batas negara dan kebudayaan sehingga hal itu menjembatani masuknya sastra dunia. Beragam terjemahan dapat memperkaya khasanah kesustaraan Indonesia.  


Disarikan dari:

Damono, Sapardi Djoko. 2009. Sastra Bandingan. Ciputat: editum.

Hemingway, Ernest. 1983. Lelaki Tua dan Laut. (terj. Sapardi Djoko Damono). Jakarta: Pustaka Jaya.

Hemingway, Ernest. 2009. The Old Man and The Sea. (terj. Dian Vita Ellyati). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing.

Jassin, H.B. 1985. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei IV. Jakarta: Gramedia.

Perbandingan antara terjemahan Lelaki Tua dan Laut oleh Sapardi Djoko Damono dan Dian Vita Ellyati dapat dilihat lebih lengkap dalam artikel Nita Nurhayati berjudul Lelaki Tua dan Laut dalam Dua Terjemahan. nita_nurhayati.blogspot.com.