Tulisan ini mengungkapkan permasalahan tentang perempuan dan kelas sosial yang melingkupi novel Gadis Pantai. Di akhir tulisan juga dijelaskan posisi Pramoedya Ananta Toer dalam Kesusastraan Indonesia.
Sekilas tentang Gadis Pantai
Gadis Pantai bercerita tentang tokoh perempuan
bernama atau dipanggil Gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan di Jawa
Tengah, Kabupaten Rembang. Pada usia empat belas tahun, ia dinikahkan dengan
sebilah keris sebagai wakil mempelai pria. Gadis Pantai dibawa ke kota beserta
rombongan untuk menemui suaminya. Rombongan dari kampung nelayan itu datang ke
rumah gedung, kemudian muncullah seorang laki-laki yang disegani yang bertanya
apakah Gadis Pantai sudah haid atau belum. Pertanyaan ini membuat teka-teki
tersendiri. Gadis Pantai tidak tahu apa itu haid, ia menggeleng ketika ibunya
menjelaskan. Lalu ibunya justru mengiyakan pertanyaan itu, sehingga Gadis
Pantai diterima untuk tinggal di rumah gedung. Sejak tinggal di rumah gedung
itu, panggilan Gadis Pantai berubah menjadi Mas Nganten atau Bendoro Puteri.
Semua orang di gedung menaruh hormat padanya.
Kehidupan
Gadis Pantai berubah total, ia diperlakukan sebagai seorang wanita utama di
rumah gedung itu. Ia ditemani seorang pelayan tua yang siap mengabdi padanya.
Menurut wanita tua itu, tugas Bendoro Puteri hanya dua, yaitu memerintah para
pelayan dan menunggu perintah dari Bendoro. Awalnya, ia selalu ingin pulang ke
kampungnya. Emak dan Bapaknya membujuk Gadis Pantai untuk tetap bertahan.
Memberi pengertian padanya bahwa hidup di kota lebih enak daripada hidup di kampung.
Bahwa Gadis pantai beruntung sudah dipilih menjadi wanita utama Bendoro Bupati.
Semua
urusan Gadis Pantai sudah ditangani oleh wanita tua. Sebagai wanita utama, ia
hanya tinggal mengangkat jari-jarinya untuk mendapatkan yang diinginkan.
Perlakuan Bendoro padanya juga cukup baik, hanya saja Bendoro jarang berada di
rumah gedung itu. Gadis Pantai merasa terkekang dalam menjalani gaya hidup yang
baru, ia kehilangan kebebasannya sebagai bocah usia belasan tahun yang lincah
dan bisa berbuat apappun yang ia suka. Wajahnya berubah ketika ia melihat
cermin, lebih cantik, tapi ia merasakan kepalsuan yang tampak dalam cermin. Ia
merasa itu bukanlah dirinya, tapi orang lain yang tidak memiliki kebebasan.
Selain
menjadi lebih cantik dan anggun, Gadis Pantai juga didatangi berbagai guru oleh
Bendoro, guru ngaji, guru menjahit, guru membaca dan menulis. Ia mulai
mempelajari banyak hal dan sudah terbiasa melupakan kampungnya. Pada bagian
berikutnya, cerita mengalir dalam kehidupan yang penuh aturan dan ketentutan
yang ditetapkan Bendoro.
Perempuan
Perempuan tidak semata-mata
dilahirkan, perempuan adalah suatu proses menjadi. Dan proses menjadi tidak
akan pernah berakhir. Definisi perempuan menurut Beauvoir
lebih lengkap lagi dijelaskan oleh Priyatna dalam Tesisnya, yaitu perempuan
bukanlah suatu fakta yang ajeg, melainkan lebih merupakan keadaan yang selalu
berada dalam proses menjadi, dan itu berarti kemungkinan-kemungkinan yang
dimiliki perempuan harus didefinisi (bahwa) tubuh bukanlah suatu benda, tubuh
adalah situasi: tubuh adalah cengkeraman kita terhadap dunia dan sketsa rencana
hidup kita.
Sedangkan
perempuan atau female menurut Sarah
Gamble secara harfiah adalah kata yang mengacu pada perorangan yang memiliki
seperangkat karakteristik biologis tertentu, mencakup kemampuan untuk
melahirkan. Karakter ini dengan demikian menjadi dibedakan dari femininitas yang menggambarkan suatu
citra kewanitaan yang dikonstruksi secara sosial. Adapun Mary Daly berpandangan
bahwa prinsip perempuan dibuat diam dan tak memiliki kekuasaan dalam wacana
patriarkal yang menginginkan pengasingan perempuan dari sifat alami yang
dimilikinya. (2010: 295-296).
Dari
definisi di atas, posisi perempuan selalu dikaitkan dengan patriarki. Sementara
patriarki adalah sebuah sistem yang
diatur oleh laki-laki, yang kekuasaannya dijalankan melalui institusi sosial,
politik, ekonomi, dan agama. Semua feminis menentang patriarki, walaupun mereka
berbeda konseptualisasi tentang patriarki. Shulamith Firestone memandang pembentukan
perempuan sebagai kelas yang lebih rendah muncul dari fungsi reproduksi mereka
yang mengidentifikasi struktur keluarga biologis sebagai pusat terjadinya
penindasan terhadap perempuan di bawah
kekuasaan patriarki. (2010: 381).
Dalam
Gadis Pantai ada beberapa tokoh
perempuan, antara lain Gadis Pantai, Emak, Wanita Tua, Mardinah, dan Mas Ayu
(yang kemunculannya tidak banyak, sehingga tidak dimasukkan dalam pembahasan). Sebagai
tokoh utama, deskripsi fisik Gadis Pantai tergambar jelas. Gadis Pantai digambarkan
sebagai seorang perempuan berusia empat belas tahun.
Empatbelas
tahun umurnya waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak sipit.
Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai
keresidenan Jepara Rembang. (2011: 11)
Dalam
usia belasan tahun ini, Gadis Panati dinikahkan dengan seseorang yang belum
dikenalnya. Posisi perempuan sebagai sebuah properti yang pindah tangan dari
kepemilikan bapak menjadi milik suami tampak pada bagian awal cerita.
Kemarin malam ia telah dinikahkan.
Dinikahkan denga sebilah keris. Derik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya
lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang
yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. (2011: 12)
Dari narasi di atas, tampak
bahwa seorang perempuan tidak memiliki hak atas dirinya. Sebagai seorang anak
perempuan, ia adalah milik orang tuanya. Sehingga orang tua yang mendominasi
anak ini, punya kekuasaan untuk menentukan masa depan anaknya. Sang anak tidak
diberi pilihan, bahkan tidak mengenali siapa yang akan menjadi pendamping
hidupnya. Sebagai seorang anak yang patuh, Gadis Pantai tetap menuruti
keinginan orang tuanya. Walaupun dengan pengetahuan yang terbatas tentang
pernikahan bahkan tentang kodrat kewanitaan.
Rencana orang tua Gadis Pantai
untuk menikahkan anaknya hampir gagal, ketika muncul pertanyaan apakah gadis
pantai sudah haid? Gadis Pantai sendiri sama sekali tidak tahu apa itu haid.
Emak memncoba memberi tahu, namun karena pengetahuan yang terbatas. Gadis
Panati hanya bisa menggeleng, dan tatapan Emak kemudian memaksanya untuk
mengangguk. Dalam pikiran Emak, jika Gadis Pantai menjadi istri Bendoro, maka
hidupnya akan lebih sejahtera.
“Mulai
hari ini, nak,” emaknya tak sanggup meneruskan, kemudian mengubah bicaranya:
“Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah
berapa kali khatam Qur’an. Perempuan nak, kalau sudah kawin jeleknya laki
jeleknya kita, baiknya laki baiknya kita. Apa yang kurang baik pada dia”. (2011:
14)
Emak meyakinkan Gadis Pantai
pada kedudukannya yang sekarang. Sebagai seorang ibu, ia merasa bangga memiliki
menantu seorang pembesar, orang yang berkuasa dan sering dipanggil Bendoro
Bupati.
Jika
di awal penjelasan, Gadis Pantai tidak memiliki hak dalam perkawinan, pun
halnya demikian dalam perceraian. Setelah Gadis Pantai melahirkan anak
perempuan, Bapaknya dipanggil ke kota untuk menghadap Bendoro Bupati. Ternyata
dipanggilnya sang Bapak untuk menceraikan puterinya. Gadis Pantai sama sekali
tidak dilibatkan. Sebagai seorang istri, ia tak memiliki hak untuk berpendapat
atas keputusan suaminya yang sebelah pihak. Bahkan, Gadis Pantai diusir dari
rumah dan disuruhb kembali ke kampung. Naluri keibuannya berontak, apabila
ternyata ia harus dipisahkan dari buah hatinya. Namun, kuasa Bupati telah
meluruhkan hak ibu atas anak kandungnya itu.
Untuk
membahas lebih lanjut tentang perbedaan kelas dalam novel Gadis Pantai perlu adanya sebuah pendekatan. Adapun pembahasan
tentang kelas terdapat dalam Marxis, dan pembahasan tentang perempuan yang
telah lebih dulu dibahas termasuk ke dalam feminisme. Sehingga tulisan ini akan
berusaha menggali lebih dalam tentang perbedaan kelas tersebut menggunakan
pendekatan feminisme Marxis.
Feminisme
Marxis-Sosialis
Priyatna
mengatakan bahwa feminisme lahir dan berkembang dalam konteks tertentu (ruang,
waktu, latar tertentu). Feminisme berdialog dengan konteks spesifik tempatnya
berkembang/dikembangkan. Sedangkan feminisme yang membahas tentang perbedaan
kelas adalah Feminisme Marxis. Tong (2010: 138) mengungkapkan bahwa Feminisme
Marxis dan sosialis percaya bahwa opresi terhadap perempuan bukanlah hasil
tindakan sengaja dari satu individu, melainkan produk dari struktur politik,
sosial, dan ekonomi tempat individu itu hidup. Feminism Marxis lebih banyak
membahas perbedaan kelas yang terjadi karena dampak kapitalisme. Perbedaan
kelas antara kaum borjuis dan proletar dalam ranah kapital.
Adapun yang berkaitan dengan
narasi Gadis Pantai adalah wacana
tentang alienasi yang juga termasuk dalam bahasan Feminisme Marxis. Robert
Heilbroner menjelaskan bahwa alienasi adalah pengalaman yang secara dalam
mengakibatkan perasaan terfragmentasi atau terpecah belah. Kemudian Alison
Jaggar menjelaskan tentang Alienasi Perempuan. Adanya alienasi seksualitas,
yakni perempuan teralienasi dari tubuhnya sendiri, dan perempuan juga
teralienasi dari perempuan lain. Ada juga yang disebut Alienasi Motherhood yaitu, perempuan teralienasi
dari ‘produknya’ dan perempuan teralienasi dari proses kerja reproduksi.
Alienasi yang ketiga yaitu alienasi dalam pengasuhan anak, yaitu adanya doktrin
yang diciptakan oleh sistem yang patriarkal.
Feminisme
Marxis, sebagai sebuah teori pembebasan, Marxisme telah begitu banyak membahas
soal penindasan (opression)
perempuan. Namun, Marxisme melihat pembagian kelaslah yang menjadi akar dari
penindasan perempuan bukan gender. (Gamble, 2010: 349). Sedangkan class atau kelas secara konvensional
menandakan sekelompok orang yang beragam, yang berasal dari level ekonomi dan
pendidikan yang sama. Sisitemnya pun bersifat hierarkis, dalam pengelompokkan
kelas tidaklah sama menyangkut status atau kekuasaan. Kelas dalam analisis
Marxis memfokuskan pada relasi-relasi penindasan antara kelas-kelas dan ideologi-ideologi
dengan melanggengkan situasi yang tidak seimbang. Namun, sudut pandang feminis
menambahkan dimensi lain dalam perdebatan ini.
Feminisme Marxis terfokus pada
apakah perempuan dapat diidentifikasi sebagai suatu kelas yang ditekan dalam
diri mereka, di dalam institusi keluarga mereka tersubordinasi oleh laki-laki.
Sebagaimana ditegaskan Michele Barrett, bahwa aspek relasi perempuan terhadap
struktur kelas adalah bahwa relasi tersebut dimediasi, paling tidak hingga
taraf tertentu melalui konfigurasi tentang keluarga, ketergantungan pada
laki-laki, dan pekerjaan domestik. (2010: 262-263).
Dalam konteks Indonesia,
menurut Djajanegara (2000: 30), kritik feminis-sosialis atau kritik sastra
feminis-Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu
kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum
wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Feminisme jenis ini
didasarkan atas pandangan bahwa kaum wanita (perempuan) harus bangkit dari
belenggu rumah tangga dan budaya patriarkhat laki-laki. Pandangan lainnya
tentang feminis ini adalah menyatakan bahwa kaum perempuan disamakan dengan
kelas buruh yang memiliki modal tenaga dan tidak memiliki modal uang atau
alat-alat produksi. Dalam masyarakat patriarkhat, perempuan dimasukkan ke dalam
kubu rumah yang terbatas pada lingkungan serta kehidupan rumah, sedangkan
laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah.
Kaum feminis Marxis mempunyai gagasan bahwa hubungan antara kehidupan kedua
kubu tersebut dapat disamakan atau disejajarkan. Perbedaan kelas dalam
feminisme Marxis ini digunakan untuk menguraikan perbedaan kelas yang muncul
dalam novel Gadis Pantai. Dalam
narasi awal Gadis Pantai ini tampak
perbedaan kelas antara orang-orang nelayan dengan orang-orang (kaum bangsawan
atau priyayi).
Perbedaan
Kelas Sosial antara Gadis Pantai dan Bendoro Bupati
Hubungan
antara Gadis Pantai yang sudah menjadi Mas Nganten dengan suaminya yang Bendoro
Bupati, bukanlah selayaknya hubungan antara suami dan isteri, melainkan
hubungan antara pelayan dengan tuannya. Gadis Pantai sudah diberi tahu beberapa
aturan dan perkataan yang harus ia ucapkan ketika berbicara dengan suaminya.
“Sahaya Bendoro” kata inilah yang sering
diulanginya untuk menjawab pertanyaan Bendoro.
Pernyataan
ini pula yang sering dikatakan oleh mBok kepadanya. Jadi hubungan antara suami
isteri ini tak berjalan normal. Gadis Pantai dengan keluguannya hanya bisa
protes dan meluapkan berbagai pertanyaan pada mBok dan tak bisa ia utarakan
pada Bendoro.
Gadis
Pantai sadar bahwa dirinya telah berubah, bahkan kehilangan kebebasan.
“Gadis Pantai tersadar sekarang betapa
takutnya ia pada kesunyian, pada keadaan tak boleh bergerak. Ia tersedan-sedan
seorang diri. Dan tak ada seorang pun peduli padanya. (2011: 35)
Daerah
asal Gadis Pantai dianggap begitu rendah oleh Bendoro.
“… Aku tahu kampung-kampung sepanjang pantai
ini. Sama saja. Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke
kampungmu. Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela,
tidak dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran,
orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka
miskin.” (2011: 41)
Mendengar
ini, Gadis Pantai ingin berontak, namun ia tak berani mengatakan apapun. Dalam
narasi terdapat penjelasan yang digumamkan mBok dalam hati tentang kedudukan
Gadis Pantai sebenarnya.
Nampak bujang itu merasa kasihan kepada
Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan
antara kehidupan orang kebanyakan dengan kaum Bendoro di daerah pantai. Seorang
Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri,
sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat
perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat.
Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan
istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang
kebanyakan, itu penghinaan bila menerimanya. (2010: 80)
Dari narasi mBok pada halaman
lain, dapat kita lihat kelas sosial antara Gadis Pantai dengan Bendoro Bupati.
Ingin sekali wanita tua itu peringatkan
Gadis Pantai, tapi ia tak berani. Ia tahu benar, dalam sehari wanita utama bisa
berganti 25 kali tanpa sedikitpun mengurangi perbawa Bendoro. Ia tahu besok
atau lusa paling lama setelah Gadis Pantai melahirkan anak pertama, wanita muda
tak berdosa ini pun mungkin akan langkahi dan lalui jalan hidupnya sendiri
tanpa ragu-ragu lagi: jalan hidup sebagai sahaya. Dan ibu muda ini lebih
menderita daripadanya karena ia punya anak tapi harus pergi dari anaknya. Ia
tak boleh bertemu. Dan bila bertemu anak, maka itu bukan anaknya, tapi
Bendoronya, orang yang harus disembah dan dilayaninya. Ditindasnya perasaannya
sendiri, dan dengan lemah-lembut dicobanya juga memperingatkan Gadis Pantai
akan nasibnya yang akan datang. (2010: 98)
Dengan kedudukan yang dirasa
lebih rendah, Gadis Pantai tidak memiliki kebebasan berbicara pada siapapun.
Namun, akhirnya ia sadar tentang posisinya yang sekarang.
Begitulah lama-lama ia mengerti, di sini ia
menjadi seorang ratu yang memerintah segala. Hanya ada seorang saja yang berhak
memerintahnya: Bendoro, tuannya, suaminya. (2010: 82)
Gadis
Pantai juga menggugat hubungan antara suami-istri yang berbeda antara orang
kota dan kampung.
“Apakah di kota suami-istri tidak pernah
bicara?”
“Ah, Mas Nganten, di kota,
barangkali di semua kota -- dunia kepunyaan lelaki. Barangkali di kampung
nelayan tidak. Di kota perempuan berada dalam dunia yang dipunyai lelaki, Mas
Nganten. (2010: 87)
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Gadis Pantai dan Bendoro
bukanlah hubungan suami-istri yang normal. Melainkan hanyalah hubungan antara
majikan dan pelayan. Kelas Bendoro yang lebih tinggi membuat Gadis Pantai yang
kelasnya lebih rendah hanya sebagai pemuas seksualnya saja. Meskipun dalam
ikatan pernikahan yang syah, Gadis Pantai tetaplah seorang sahaya: istri
percobaan yang bisa berganti kapan saja Bendoro inginkan.
Perbedaan
Kelas Sosial antara Bendoro Bupati dengan mBok
Narasi
deskripsi fisik Bendoro Bupati dari sudut pandang Gadis Pantai ini menunjukkan
kelas sosial antara Bendoro dengan mBok.
Nampak seorang pria bertubuh tinggi kuning
langsat berwajah agak tipis dan berhidung mancung. Ia berkopiah haji dan
berbaju teluk belanga dari sutera putih dan bersarung bugis hitam dengan
beberapa genggang putih tipis-tipis. Ia lihat orang itu membangunkan bujang
dengan kakinya. Dan bujang itu bangun, cepat-cepat menggulung tikar dengan
bantal di dalamnya, merangkak mundur kemudian berdiri membungkuk, keluar dari
pintu lenyap dari pandangan. (2011: 31)
Bendoro
Bupati membagunkan bujang dengan kakinya. Narasi ini menunjukkan betapa rendah
kelas sosial seorang bujang di mata tuannya, bahkan untuk membangunkan saja,
tangannya tak sudi menjamah tubuh bujang itu, justru dengan kakinya. Seolah
kaki majikan ini sama rendahnya dengan harga diri pelayannya. Kaki menjadi
simbol yang menunjukkan bahwa kelas sosial pelayan lebih rendah daripada
majikan.
Perbedaan
Kelas Sosial antara Gadis Pantai dan mBok
Status sosial
Gadis Pantai berubah setela ia dinikahkan oleh Bendoro Bupati. Tampak perbedaan
kelas sosial antara Gadis Pantai yang sekarang dipanggil Mas Nganten atau Bendoro
Puteri dengan wanita utama yang menjadi pelayannya.
Gadis
Pantai berdiri dari kursi. Bujang itu membungkuk padanya, begitu rendah.
Mengapa ia membungkuk? Sebentar tadi ia masih sesamanya. Mengapa ia begitu
merendahkan dirinya sekarang? Gadis Pantai jadi bimbang, takut, curiga. Apakah
semua ini? (2011: 26)
Seperti
kata Emaknya, derajat hidup atau status sosial Gadis Pantai berubah atau
semakin meningkat karena ia telah menjadi Nyonya Bendoro Bupati. Sehingga hal
ini menimbulkan kesenjangan dalam hubungan antara Gadis Pantai dan mBok. Gadis
Pantai sudah berubah status menjadi Bendoro Putri dan mBok adalah sahayanya.
“Mengapa mBok tidur di bawah? Mengapa tak
mau di sampingku sini?”
“Sahaya adalah sahaya. Dosa pada
Bendoro, pada Allah, seperti sahaya begini menempatkan diri lebih tinggi dari
lutut Bendoronya.” (2011: 64)
Beginilah
perbedaan kelas sosial antara isteri majikan dan pelayan. Perlakuan istimewa
yang ditunjukkan pelayan merupakan bentuk pengabdian. Meskipun Gadis Pantai
memiliki kedudukan lebih mulia sebagai istri majikan, namun ia sebenarnya tidak
menginginkan adanya kesenjangan. Ia membutuhkan seorang teman, ketika suaminya
-- Bendoro Bupati pergi. Perbedaan kelas sosial tak memungkinkan hal itu
terjadi.
Perbedaan
Kelas Sosial antara dua Perempuan (Gadis Pantai dan Mardinah)
Setelah mBok
diusir, datanglah seorang perempuan muda bernama Mardinah untuk menggantikan
tugas mBok melayani wanita utama. Namun, sikap Mardinah berbeda dari patutnya
sikap seorang pelayan. Mardinah justru tidak menghormati Gadis Pantai sebagai
wanita utama, ia merasa dirinya lebih mulia karena berasal dari kota yang
pandai membaca dan menulis, sehingga ia melakukan apapun yang diinginkannya.
Medapati sikap yang demikian, Gadis Pantai tidak tinggal diam.
“Orang kota, bangun! Menurut ukuran orang
kampung tidaklah sopan tidur di tempat orang lain tanpa ijin.” (2010: 127)
Ada
satu bagian cerita ketika Gadis Pantai kembali ke kampungnya ditemani oleh
Mardinah. Mardinah masih sama dengan sifatnya sebagai orang kota yang memandang
orang kampung sebagai kelas rendah. Namun, Gadis Pantai sadar akan posisi
superioritasnya yang sekarang. Ia menyuruh Mardinah pulang ke kota.
“Kau dengar, Mardinah? Di sini, di tempat
Bendoro suamiku tak ada, akulah Bendoromu. Aku yang perintahkan kau balik ke
kota, kalau kau tak suka, ya apa boleh buat, kau mesti menginap. Suka atau
tidak tanggunglah sendiri.” (2010: 161)
Konflik
antara Gadis Pantai dan Mardinah terus berlangsung hingga akhirnya terungkap
kedok Mardinah yang mempunyai maksud jahat pada Gadis Pantai. Mardinah ingin
merebut posisi Gadis Pantai sebagai wanita utama, ia juga berencana akan
membunuh Gadis Pantai. Mengetahui rencana busuk ini, penduduk kampung
memberikan hukuman pada Mardinah dengan cara menikahkannya dengan pemuda
kampung yang sama-sama dicurigai berkhianat pada kampungnya sendiri. Di sinilah
kelas sosial menjadi berbalik. Jika Gadis Pantai menikah dengan Bendoro Bupati
untuk mendapatkan derajat yang lebih tinggi serta kehormatan dalam kelas
bangsawan. Sementara Mardinah justru harus menerima konsekuensi atas perbuatan
jahatnya itu dan akhirnya menikah dengan pemuda kampung yang status sosialnya
lebih rendah.
Perbedaan
Kelas Sosial antara Gadis Pantai (yang menjadi wanita utama) dengan Emak dan Bapak
kandungnya.
Perbedaan
kelas ini terjadi ketika pertengkaran antara Gadis Pantai dan Bapaknya. Gadis Pantai mengeluh karena tidak betah dan
ingin pulang ke kampungnya. Kemudian, wanita tua yang menjadi pelayan Gadis
Pantai memberi penjelasan tentang kedudukan Mas Nganten sekarang yang telah
berubah, berbeda dengan bapak dan emaknya.
“Kalau wanita utama suka,” bujang itu
meneruskan, “Mas Nganten bisa usir bapak dari kamar.”
Gadis Pantai meronta dari pelukannya
di dada emak. Ia terisak-isak. Sekarang ia berlutut merangkul kaki bapak.
“Ampuni aku bapak, pukullah anakmu ini.” (2011: 45)
Dari
penjelasan mBok tentang perubahan kedudukan Gadis Pantai yang sekarang yang
dulu, membuat hubungan antara anak dan orang tua menjadi berubah. Perlakuan
orang tua terhadap anak juga berubah karena status sosial yang berbeda. Hal ini
menunjukkan bahwa kelas sosial lebih jauh dapat meleburkan hubungan sedarah.
Kelas sosial telah mengubah hubungan sedarah antara orang tua dan anak
kandungnya.
Gadis
Pantai tidak hanya dimuliakan oleh kedua orang tua kandungnya, tetapi ia juga
dibanggakan penduduk kampungnya.
Setiap orang merasa bangga, seorang gadis
dari kampung mereka telah jadi orang kota, jadi bangsawan, jadi Bendoro. (2011:
170)
Namun,
ternyata kemuliaan ini tak bertahan lama. Gadis Pantai diusir dari rumah
Bendoro Bupati setelah melahirkan anak perempuan. Karena pengusiran dan
perceraiannya dengan Bendoro Bupati, Gadis Pantai kembali ke status awal yang
disandangnya. Gadis Pantai menjadi sahaya, seperti orang kebanyakan. Dan
ingatan tentang masa lalu, saat para penduduk menghormatinya ini membuat Gadis Pantai
tak kembali ke kampungnya bersama Bapaknya. Gadis Pantai lebih memilih untuk
mencari wanita tua yang melayaninya selama di gedung. Sebelum pergi, wanita tua
itu pernah bercerita bahwa mungkin saja ia pergi ke Blora.
Kesadaran
Perempuan (Gadis Pantai) terhadap Opresi
Opresi (Opression) secara sederhana diartikan
sebagai penindasan. Bell Hooks mendefinisikan feminisme sebagai perjuangan
mengakhiri penindasan yang bersifat seksis. (Gamble, 2010: 374). Adapun analisis
Marxis mengenai kelas telah menyediakan bagi para feminis beberapa alat
konseptual yang diperlukan untuk memahami opresi terhadap perempuan. (2010:
146). Dengan demikian, opresi bisa diartikan sebagai tekanan atau ketimpangan
yang dihadapi perempuan. Dalam beberapa hal, Gadis Pantai sebagai perempuan
sadar akan dirinya yang telah teropresi oleh aturan, oleh Bendoro Bupati, dan
oleh posisinya sekarang yang telah menjadi Bendoro Putri.
Ia rasai bagaimana dirinya seperti seekor
ayam direnggut dari rumpunnya. Harus hidup seorang diri, di tengah orang yang
begitu banyak. Tak boleh punya sahabat, Cuma boleh memerintahkan. (2011:
46)
Gadis
Pantai juga sadar akan tubuhnya yang telah berubah. Dirinya telah menjadi
seperti yang bukan dirinya lagi, tapi dirinya yang lain yang telah
terkonstruksi oleh aturan di gedung itu.
Pada cermin Gadis Pantai melihat wajahnya
sendiri: itu bukan diriku! Pekiknya dalam hati. Wajah itu memang bukan wajahnya
yang kemarin dulu. Wajah itu seperti boneka, taka da tanda-tanda kebocahannya
lagi yang kemarin dulu. (2011: 49)
Apabila kita kembali merujuk
pada pendekatan Feminisme Marxis, ada yang disebut sebagai alienasi, salah
satunya adalah alienasi dalam pengasuhan anak, yaitu adanya doktrin yang
diciptakan oleh sistem yang patriarkal. Gadis Pantai merasakan alienasi ini
yaitu setelah ia melahirkan seorang anak perempuan. Ia dipisahkan dengan
anaknya. Kuasa Bendoro Bupati teramat kuat, dan Gadis Pantai telah diceraikan
dan diusir dari rumah gedung itu. Dengan berat hati, ia tinggalkan anaknya.
“Aku
pikir, barangkali ini memang sebaiknya, biar begini berat rasanya. Biarlah ia
tak perlu tahu emaknya. Dia akan jadi seperti bapaknya. Ia akan memerintah. Dia
akan tinggal di gedung -- tak perlu melihat laut. Ah, bapak, aku harus berikan
semua itu. Aku harus berikan.” (2010: 267)
Gadis Pantai dan bapaknya
pulang ke kampung, namun dalam perjalanan pikiran Gadis Pantai berubah. Ia tak
ingin pulang ke kampungnya, ia ingin mencari wanita tua yang pernah melayaninya
di gedung. Seingatnya wanita tua itu pergi ke Blora. Gadis Pantai tak sanggup
kembali ke kampungnya, ia pun berpisah dengan bapaknya.
Gadis Pantai dan Pramoedya Ananta Toer
Sebuah Tesis
tentang Gadis Pantai ditulis oleh Savitri
Scherer. Dalam Tesisnya ini, Scherer mengkaji Gadis Pantai dalam Idealisme
Progresif dalam Sastra Pramoedya. Menurut Scherer, karakter utama cerita
ini, si Gadis Pantai, seperti banyak karakter Pramoedya, adalah seseorang yang
terlantar, tercerabut pada usia empat belas tahun dari desa nelayan tempat ia
dilahirkan dan menikah dengan laki-laki keturunan bangsawan yang sangat
religius dan pejabat di kota tetangga. Namun, kesamaannya dengan karakter
tercerabut yang dirancang Pramoedya pada masa-masa yang lebih awal dalam karir
kepenulisannya, berakhir di sini.
Scherer
menyebut bahwa Gadis Pantai merupakan potret revolusioner seorang tokoh
perempuan. Potret Gadis Pantai sendiri tidak hanya tajam, tetapi juga
revomusioner. Dengan membuat sang tokoh perempuan, yang berasal dari lingkungan
biasa menolak tunduk pada kelas yang berkuasa, dan mempertanyakan keadilan atas
hak-hak yang dinikmati kelas tersebut. (1981: 112)
Sementara
untuk melihat posisi Pramoedya Ananta Toer dalam Kesusastraan Indonesia, kita
dapat membaca tulisan Acep Iwan Saidi tentang Arok Dedes dan Anak Haram Pramoedya Ananta Toer, Wacana Sejarah dan
Kekuasaan dalam Ideologi Realisme Sosialis . Saidi mengungkapkan bahwa
sosok Paramoedya Ananta Toer (selanjutnya hanya akan disebut Pram) adalah sosok
fenomenal dalam kesusastraan Indonesia. Ada beberapa hal yang menyebabkan
sastrawan ini menjadi demikian. Pertama,
Pram adalah salah seorang penulis terbaik prosa Indonesia, kalau tidak bisa
diakatakan yang terbaik. Dunia internasional pun mengakuinya sehingga ia pernah
dicalonkan sebagai pemenang hadiah nobel dari Indonesia. Kedua, keterlibatannya dalam organisasi Lekra menyebabkan ia pernah
menjadi sosok angkara pada zaman organisasi organisasi itu berjaya, paling
tidak bagi kelompok Manifes Kebudayaan. kelompok seniman yang berseberangan
dengannya.
Ketiga,
pada zaman orde baru berjaya, ia harus menjalani nasib sebaliknya dari apa yang
ia jalani pada masa sebelumnya: mendekam di Pulau Buru. Buku-bukunya pun tidak
boleh beredar di Indonesia. Keempat, ia
menerima hadiah Magsaysay. Kelima, ketika
orba runtuh dan orang mabuk kebebasan, Pram kembali ramai dibicarakan. (2006:
59).
Pramoedya Ananta Toer selalu
dikaitkan dengan realisme sosialis. Realisme sosialis adalah terminologi yang
dipakai para kritikus Marxis untuk fiksi yang dianggap menggambarkan atau
merefleksikan pandangan Marxis bahwa pertentangan antarkelas sosial merupakan
dinamika esensial masyarakat. (Saut Situmorang, 2009: 108). Bertolak dari paham
inilah, Pram merespons banyak peristiwa yang dialaminya dengan cara
menuliskannya dalam bentuk fiksi. Dari sumber lain, yaitu video dokumenter yang
diproduksi Yayasan Lontar, dideskripsikan bahwa Pram selalu mengingat pesan
ibunya: “Jadilah manusia bebas. Jadi majikan bagi dirimu sendiri dan jangan
melanggar hak orang lain. Nasihat ibunya ini membentuk pribadi Pram menjadi
individualis, yang tidak bisa memerintah dan tidak mau diperintah. Pram juga
tidak kompromis dan terus menantang untuk menjadi dirinya sendiri.
Keberhasilan Pram dalam
berkarya adalah karena gagasannya yang secara dalam membahas kemanusiaan, sisi
humanisme yang mengusung kebebasan manusia. Kemudian Pram menganggap bahwa
karya merupakan anak rohani, yang menempuh hidupnya sendiri dalam khasanah
sastra, tergantung nasib mereka. Karena itu, Pram masih tetap menulis meskipun
karyanya banyak dilarang. Bagi Pram, orang oleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.
Sekadar
Penutup
Demikian uraian
tentang Perempuan dan Kelas Sosial dalam
Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer. Dari narasi Gadis Pantai ini, tampak bahwa Pramoedya Ananta Toer dengan gaya
realisme sosialisnya ingin mengungkapkan perbedaan kelas sosial yang mewujud
antara kaum priyayi dan orang kebanyakan. Antara Priyayi dan bukan Priyayi.
Antara orang kota dan orang kampung yang dianggap rendah dan tidak tahu
apa-apa. Novel Gadis Pantai menggambarkan
kebobrokan para priyayi itu melalui karakter Bendoro Bupati yang memosisikan
perempuan kampung sebagai pemuas hasrat seksualnya. Priyayi lain yang telah
terjebak dengan keburukan sikapnya ditunjukkan oleh Mardinah yang akhirnya
harus menerima hukuman dan menikah dengan pemuda kampung yang kelas sosialnya lebih
rendah.
Kelas
sosial ternyata bukanlah sebuah status yang ajeg, terjadi perubahan kelas yang
dialami Gadis Pantai ketika sebelum menikah dan setelah menikah. Status sosial
Gadis Pantai menjadi berubah derajatnya lebih tinggi setelah menikah dengan
Bendoro Bupati. Kemudian berubah pada status semula ketika Gadis Pantai
diceraikan secara sepihak oleh Bendoro tersebut. Dalam pernikahan yang dengan
perantara sebilah keris ini memosisiakn perempuan kampung sebagai kaum
marginal. Perempuan yang teropresi oleh kekuasaan kelas yang lebih tinggi.
Meskipun pada bagian-bagian tertentu, Gadis Pantai dapat menikmati kemewahan
dan keberuntungannya sebagai perempuan kampung yang terpilih menjadi istri
Bendoro Bupati, namun status dirinya sebagai seorang istri bukanlah istri
sebenarnya yang mutlak. Pernikahannya dengan Bendoro Bupati memang syah, tapi
Gadis Pantai hanyalah istri percobaan, istri latihan sebelum Bendoro Bupati
memutuskan untuk menikah dengan perempuan sekelasnya.
Kebahagiaan
Gadis Pantai ternyata hanya sementara, pada akhirnya tak hanya hidup sebagai
janda muda berusia enam belas tahun. Ia pun tak memiliki hak asuh atas anak
kandungnya. Menurut Feminisme Marxis-Sosialis, Gadis Pantai mengalami alienasi
dalam pengasuhan anak. Gadis Pantai diusir dari rumah Bendoro Bupati setelah
tiga bulan melahirkan anak perempuan. Begitulah kehidupan berlangsung dalam rel
kesenjangan kelas sosial. Seperti yang telah dibahas dalam feminisme Marxis,
bahwa perbedaan kelas membuat perempuan dirugikan. Golongan kelas atas
bertindak semena-mena terhadap golongan kelas bawah. Dan feminisme telah
membuka ruang bagi perempuan untuk mengkritisi ketimpangan ini. Seperti halnya
Pram yang telah berusaha mengungkapkan realitas feodalisme Jawa ke dalam novel Gadis Pantai yang tragis dan menyentuh
nilai kemanusiaan.
Referensi
Djajanegara, Sunarjati. 2000. Kritik
Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Gamble, Sarah. 2010. Feminisme
& Postfeminisme. Yogyakarta: Jalasutra.
Saidi, Acep Iwan. 2006. Matinya
Dunia Sastra: Biografi Pemikiran & Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia.
Yogyakarta: Pilar Media.
Scherer, Savitri. 1981. Pramoedya
Ananta Toer Luruh dalam Ideologi. Jakarta: Komunitas Bambu.
Situmorang, Saut. 2009. Politik
Sastra. Yogyakarta: Sic.
Toer, Pramoedya Ananta. 2011. Gadis
Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist
Thought (Terj. Aquarini Priyatna). Yogyakarta: Jalasutra.
Video Dokumenter, Pramoedya Ananta Toer. Produksi Yayasan Lontar.